Sireng Ala Anak-anak Bonoharjo Bersama Frater Dan Suster

Siapa mau jadi Romo? Lima anak laki-laki angkat tangan. Syukur kepada Allah, benih panggilan bermekaran di kalangan anak Bonoharjo.

Minggu (13/8) sebanyak 34 anak-anak dari 12 lingkungan se-stasi Bonoharjo sinau bareng dua frater dari Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan dan dua suster Abdi Kristus Paroki Wates. “Mudahan-mudahan dengan belajar bersama ini ada anak-anak yang berminat menjadi Romo dan Suster,” demikian sepenggal kalimat sambutan pastor kepala Paroki Wates, Romo Paulus Susanto Prawirowardoyo, Pr. Kegiatan Belajar Bersama Frater dan Suster bertujuan untuk mempersubur bibit panggilan khususnya menumbuhkan minat dan ketertarikan untuk menjadi Romo dan Suster.

1.Sambutan Romo
Sambutan Romo Paroki Wates

Kegiatan berlangsung meriah. Anak-anak sangat antusias dan sangat menikmati dinamika yang ada. Setelah sambutan, anak-anak melakukan games bersama fr. Antok. Setelah games, banyak hal yang dibagikan oleh fr. Kris dari paroki Salam dan juga Suster Yosephine dan Suster Faustina Abdi Kristus. Mulai dari suka-duka menjadi frater dan suster, kehidupan sehari-hari di seminari dan biawa, serta cara-cara dan tahap-tahap yang dijalani untuk menjadi Romo. Mulai dari seleksi, menjalani kehidupan di seminari Mertoyudan, Tahun Orientasi Rohani (TOR), menjadi frater di Seminari Tinggi hingga ditahbiskan menjadi seorang Imam. Di Seminari bakat dan talenta para frater sangat diperhatikan. Mulai dari bakat olahraga, seni peran, menulis, bermusik, hingga sekedar jalan-jalan untuk refreshing. Menjadi suster juga mengasikkan dan dapat melakukan banyak hal. Suster tugasnya tidak hanya berdoa, tetapi juga menjalani kehidupan yang pada umumnya dilakukan banyak orang. Mulai dari memasak, menyanyi, berkebun, mengajar, dan lain sebagainya. Jangan takut untuk menanggapi panggilan menjadi Romo dan suster, karena selain kehidupan rohani yang diolah sikap dan pengetahuan juga sangat diolah.

Setelah belajar bersama, anak-anak kembali bersenang-senang dalam game Fashion Show. Secara berkelompok anak-anak membuat kreasi baju dari kertas koran. Kerja sama dalam tim dan kreativitas sangat diperlukan dalam Games ini. Kreasi baju hasil kerja tim dinilai dan ditentukan kelompok terbaik. Anak-anak sangat antusias, apalagi semua kelompok juara atau tidak mendapat hadiah dari frater berupa buku.

This slideshow requires JavaScript.

Terima kasih frater dan suster atas sharingnya.

Para Ibu di Hari Raya Sang Ibu

Hari ini (13/8) Gereja semesta merayakan Hari Raya Maria Diangkat Ke Surga. Dalam kotbah ekaristi, Romo Santo menyampaikan bahwa untuk mencapai kemuliaan seseorang harus meneladan Bunda Maria. Ia secara penuh menyerahkan hidupnya dan percaya utuh kepada Allah.

Bertepatan dengan hari raya Sang Bunda, para ibu di Stasi juga makin menunjukkan perannya di gereja. Para ibu tidak lagi kanca wingking melainkan bagian umat yang ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan gereja. Dari para ibulah dasar gereja dibangun melalui keluarga.

 

Pertemuan Ibu-ibu Warasemedi

Pertemuan Ibu-ibu Stasi

Dalam waktu yang bersamaan, setelah ekaristi selesai, dilaksanakan pertemuan ibu-ibu warasemedi di ruang kelas V dan ibu-ibu stasi di ruang kelas IV SDK Bonoharjo. Selain arisan rutin, para ibu tersebut juga melakukan doa bersama dan merencanakan berbagai program pendampingan. Lebih dari itu, peran ibu-ibu di Stasi Bonoharjo makin membahana ketika mereka telah bersiap-sedia berkompetisi dalam pertandingan bola voli dalam rangka HUT RI ke-72. Viva the power of  para ibu!

Skema Pertandingan Voli Ibu

 

 

Misa Bersama Romo Okta

 

Minggu (6/8), bertepatan dengan Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya, misa di Gereja Stasi Bonoharjo terasa istimewa. Saat itu misa dipimpin oleh Romo Yohanes Wicaksono Pr dan Romo Gerardus Hadian Panamokta SJ (biasa dipanggil Romo Okta). Romo Okta adalah salah satu dari enam neomis (iman baru) Jesuit yang ditahbiskan pada Kamis (13/7) di Gereja Santo Antonius Padua Kotabaru. Beliau telah menerima tahbisan imamat dari tangan Uskup Agung Semarang, Mgr Robertus Rubiyatmoko, yang pada akhir Juni lalu baru saja menerima pallium dari Bapa Suci di Vatikan. Setelah ditahbiskan, Romo Okta menerima penugasan di SMA Gonzaga Jakarta (KAJ).

Romo Okta memiliki latar belakang sejarah Bonoharjo, ayahnya Yohanes Kayat berasal dari Lingkungan Basilius, Wilayah Kedungsari II. Yohanes Kayat merupakan alumni dari sekolah-sekolah kristiani: SD Kanisius Milir, SMP Kanisius  Wates, dan SMEA BOPKRI Wates. Dalam rangka mencari pekerjaan, Yohanes Kayat muda merantau di Jakarta sejak tahun 80-an. Romo Okta lahir dan besar di Jakarta.

Dalam kotbahnya, Romo Okta mengenang masa kecilnya dalam keluarga. Ketika ada kegiatan keluar rumah, Romo Okta selalu menerima komuni bathuk dari kedua orangtuanya. Sebuah tradisi yang tampaknya sepele, ternyata memiliki makna yang dalam. Ketika menerima komuni bathuk dari orangtua, berarti orangtua itu memberi restu dan doa atas segala aktivitas yang dilakukan. Romo Okta berharap tradisi komuni bathuk ini dapat dilakukan juga oleh keluarga-keluarga di Gereja Stasi Bonoharjo.

Romo Okta juga menjelaskan arti nama dirinya yang tergolong unik. Nama lengkapnya memiliki makna yang dalam dari sisi iman. Diceritakan, orangtuanya menikah pada usia yang sudah tidak tergolong muda. Akibatnya, kedua orangtuanya pesimis memperoleh anugerah anak. Akan tetapi, Allah sungguh baik: mereka diberi anugerah dua anak. Nama Hadian merupakan singkatan dari “hadiah dari Tuhan”, sedangkan Panamokta juga singkatan dari “delapan enam oktober” (untuk mengingat tanggal lahir).

Setelah misa berakhir, dilanjutkan dengan pesta umat di halaman SDK Bonoharjo. Umat yang hadir menikmati sopi yang disediakan gratis oleh Dewan Stasi. Romo Okta, selamat berkarya. Terima kasih atas homilinya yang inspiratif. Tuhan Memberkati!

Memberi Berkat di Tanah Leluhur

Pada Kamis (13/7/2017) telah ditahbiskan enam imam baru dari Ordo yang didirikan oleh Santo Ignatius, yaitu Serikat Yesus (SJ). Salah satu diantaranya adalah Romo Gerardus Hadian Panamokta, SJ (Romo Okta). Sosok yang gagah dan ganteng ini tanpa disangka bisa hadir dan menghunjukkan Ekaristi Minggu di Gereja Maria Mater Dei Bonoharjo, bertepatan dengan Pesta Yesus Menampakan Kemuliaan-Nya (6/8).

Romo Okta menyambut anak-anak untuk memberikan “Komuni Bathuk”

Bermula dari pertemuan tidak sengaja antara Romo Okta (waktu itu masih diakon) dengan Romo Yohanes Wicaksono, Pr saat mengamen dana pembangunan gereja Bonoharjo di Paroki Blok B Jakarta. Singkat cerita, akhirnya diketahui bahwa Romo Okta ternyata memiliki tanah leluhur di Bonoharjo. Romo Okta merupakan putra dari Yohanes Kayat dan Ibu Pur yang berasal dari Yogyakarta. Lebih spesifik lagi, sang ayah berasal dari Cumethuk, Kedungsari (Lingkungan St Bacillius, Bonoharjo) dan sang ibu berasal dari Tamansari, Paroki Pugeran. Yohanes Kayat merantau ke Jakarta sejak tahun 1984 dan membangun keluarga di sana.

“Ketika hari ini Yesus menampakkan kemuliaan-Nya. Hari ini Romo Okta juga menampakkan dirinya di Bonoharjo.” kata Romo Wicak. Dalam homilinya, Romo Okta menyampaikan bahwa kita diundang Tuhan untuk menjadi mulia. Untuk itu diperlukan dua hal, yaitu restu dan dukungan. Bacaan Injil menceritakan Yesus mendapat restu dari Allah Bapa (“Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”). Restu adalah undangan untuk mencicipi kemuliaan-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa dimaknai dalam bentuk restu dari orang tua, sesepuh, atau para leluhur. Sejak kecil Romo Okta selalu mendapat restu dari kedua orang tua dengan tanda salib di dahi setiap akan berangkat sekolah. Ia pun mengajak keluarga di Bonoharjo untuk mempraktikkan hal tersebut.

Yang kedua adalah dukungan. Dalam Injil dikisahkan pula Yesus bertemu dengan Nabi Musa dan Elia. Kita tahu bahwa merekalah tokoh dan pemimpin pembebasan Bangsa Israel dari perbudakan. Dukungan dari semua pribadi menjadi penting untuk mencicipi dan merasakan kemuliaan Tuhan. “Kita harus selalu memohon restu dari Tuhan dan leluhur, serta dukungan dari orang lain” simpul Romo Okta yang mendapat tugas perutusan perdana di SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Barat.

Umat memberikan ucapan selamat atas sakramen imamat

Di akhir Ekaristi, Agapitus Slamet (Ketua Dewan Stasi) memberikan kata sambutan berisi ucapan selamat dan paparan kondisi umat Bonoharjo. Acara dilanjutkan dengan sepatah kata dari Yohanes Kayat mewakili keluarga. Romo Okta juga menambahkan bahwa pemberian nama dari orang tua mengandung makna mendalam. Gerardus merupakan nama santo yang dirayakan bertepatan dengan bulan kelahirannya (Gerardus dari Mayella, 16 Oktober). Hadian berasal dari kata ‘Hadiah Tuhan’. Sedangkan Panamokta terdiri dari dua kata, yaitu Panam (‘Delapan Enam’, tahun lahir 1986) dan Okta (‘Oktober’, bulan kelahiran). Ekaristi ditutup dengan ajakan Romo Wicak untuk mensyukuri anugerah ini dengan pesta bersama di halaman gereja; Pesta Sopi (tipis tur rata, soto sapi).

Suasana akrab pesta “SOPI”

 

Kerja Keras H-2 FKT

Kelemahlembutan menjadi salah satu gerakan yang diperagakan

Senja menjelang malam (2/8), manakala seratusan anak dan remaja masih antusias berlatih mementaskan sebuah tarian kolosal. Halaman gereja Bonoharjo yang biasa lengang, tampak hiruk-pikuk oleh gerakan atraktif dan suara gending bertalu menggeber semangat muda.

Tidak seperti biasanya, kaum muda bisa berkumpul dalam jumlah besar karena magnet kesatuan bernama budaya. Puluhan penonton dari berbagai usia, dusun, desa, dan agama juga tampak berdiri berjubel, menyatu tanpa sekat, menikmati perpaduan gending dan tari tersebut.

                      Adegan utama

Itulah situasi dua hari menjelang pagelaran Festival Kesenian Tradisional (FKT) 2017 yang akan diselenggarakan di Lapangan Demangrejo. Agattia Septarini dengan bersemangat terus melatih dan memotivasi para penari yang akan mengambil lakon Yuyu Kangkang. Adegan dimulai dari masuknya para OMK yang memerankan ibu-ibu dalam sebuah masyarakat. Gending pun makin rampak manakala puluhan beyes (anak kepiting) masuk mengobrak-abrik suasana damai para anak-anak yang sedang bercengkerama dengan ibunya. Sketsa berpindah ke dalam seting para remaja cantik memesona para “kleting” yang memeragakan gerakan indah nan gemulai. Cerita terus mengalir dengan munculnya pimpinan para beyes dan kepiting, yaitu Si Yuyu Kangkang.

             Briefing para penari

                               Gending pengiring

Di waktu yang sama namun di lokasi yang berbeda, para petugas among tamu tampak berdiskusi dan gladi resik di rumah Alg. Sriyanto. Di rumah Pantaleon Suharyanto juga tampak beberapa OMK nglembur membuat perangkat pentas. Tidak ketinggalan pula, puluhan panitia FKT terjaga dan bekerja keras mendekorasi panggung yang telah berdiri megah di tengah Lapangan Demangrejo.

Logo lakon Yuyu Kangkang

Penasaran dengan kelanjutan lakon Yuyu Kangkang dan kemeriahan FKT yang rencananya akan dihadiri oleh pribadi-pribadi hebat seperti Hasto Wardoyo (Bupati Kulon Progo) dan Uskup Gustavo Adrian Benitez (Executive Secretary FABC/ Federation of Asian Bishops’ Conferences) dari Argentina yang saat ini berkarya di Kamboja?

Arsitek di Balik Atraktifnya Tari Kolosal Yuyu Kangkang

Hajatan besar FKT 2017 akan segera digelar (4/8) di Lapangan Demangrejo pukul 13.00-22.00 WIB. Bonoharjo sebagai tuan rumah sekaligus penampil akan mempersembahkan Tari Kolosal Yuyu Kangkang. Dengan kurang lebih 100 penari, lakon tersebut akan disajikan pada urutan kedua.

Agattia Septarini (dok. whats app)

Ada sosok hebat dibalik rencana pementasan Yuyu Kangkang. Agattia Septarini, biasa dipanggil Mbak Tiya, dialah arsitek para penari Bonoharjo. Tiya lahir pada September 1989. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Srikayangan dan SMP Negeri 2 Pengasih. Pendidikan menengah ditempuh di SMA Negeri 1 Lendah. Jenjang pendidikan tinggi diselesaikan pada tahun 2011 di Jurusan Pendidikan Seni Tari, Universitas Negeri Yogyakarta.

Kisah ketertarikan seni tari dimulai sejak usia anak-anak. Berawal dari hobi, makin dewasa makin digeluti dan merasa nyaman dengan hobi tersebut. Ia pun memiliki sanggar tari yang diberi nama Sanggar Timbang Doland di Dusun Pendem, Desa Srikayangan. Sanggar tari ini berdiri tahun 1998. Beberapa tahun kemudian sempat vakum dengan minimnya kegiatan budaya di daerah. Setelah lulus S1, Tiya fokus menghidupkan kembali sanggar tari tersebut. Berbagai prestasi telah diraih. Mereka telah terbiasa pentas di tingkat dusun sampai kabupaten. Anak didik banyak yang menjuarai berbagai even lomba di tingkat kabupaten. Pada 15/8/2017 nanti, Sanggar Timbang Doland bahkan ditunjuk oleh Dinas Kebudayaan Kulon Progo untuk pentas sebagai sanggar penggiat seni di Kecamatan Sentolo.

Melatih para penari Bonoharjo

“Saya mengikuti FKT dari awal mulanya dulu dan sejauh ini event ini semakin bekembang ke arah yang lebih baik” kata Tiya di sela-sela kesibukannya. Dia berharap agar FKT ke depannya diikuti oleh semakin banyak peserta dan lebih beragam lagi garapannya. “Semoga akan makin nampak keragaman kreativitas meskipun pendukungnya bukanlah 100% seniman profesional” pungkasnya.